Prinsip sistem pertanian berkelanjutan adalah menjadikan ekosistem alamiah sebagai model dalam merancang ekosistem pertanian dengan tetap mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Model pola tanam polikultur merupakan salah satu alternatif dalam sistem pertanian berkelanjutan yang memberikan berbagai keuntungan diantaranya terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal, dan dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam polikultur efektif menurunkan investasi hama dan penyakit tanaman, mengurangi erosi tanah, meningkatkan produktifitas lahan, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi biaya produksi khususnya penggunaan pestisida, meningkatkan diversitas dan stabilitas ekosistem serta meningkatkan kesehatan lingkungan.
Gambar 1. Contoh Penerapan Polikultur |
Polikultur berasal dari kata poly dan culture. Poly berarti banyak. Culture berarti pengelolaan/pengolahan. Jadi pola tanam polikultur merupakan suatu usaha pengolahan tanah pada suatu lahan pertanian dengan tujuan membudidayakan beberapa jenis tanaman dalam waktu satu tahun. Lebih ringkas, polikultur merupakan pola tanam dengan membudidayakan beberapa jenis tanaman dalam satu lahan pertanian selama satu tahun. Polikultur identik dengan penanaman tumpang sari (intercropping), melakukan penanaman lebih dari satu tanaman (umur sama atau berbeda). Contoh: tumpang sari umur sama seperti jagung dan kedelai dan tumpang sari beda umur seperti jagung, ketela pohon, padi gogo.
Tumpangsari, sebagai salah satu sistem pertanaman ganda, telah dipraktekkan oleh petani selama bertahun-tahun dengan berbagai cara dan di beberapa daerah di China. Kebanyakan studi tumpangsari berfokus pada tumpangsari antara anaman kacang-kacangan dan serealia. Sistem ini merupakan siatem pertanian yang berkelanjutan dimana pemanfaatan sumber daya alam lebih efisien (air, cahaya, nutrisi), dan dapat meningkatkan ketersediaan N melalui fiksasi nitrogen simbiotik ke dalam system pertanaman serta mengurangi dampak negatif pada lingkungan[1].
Prinsip sistem pertanian berkelanjutan adalah menjadikan ekosistem alamiah sebagai model dalam merancang ekosistem pertanian[2]. Model pola tanam tumpang sari (intercropping) merupakan salah satu alternatif dalam sistem pertanian berkelanjutan yang memberikan berbagai keuntungan. Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: 1) terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah[3].
Strategi yang perlu diperhatikan dalam polikultur adalah menetapkan jenis dan desain pertanaman yang efektif untuk menciptakan distribusi spasial dan temporal yang menyediakan mangsa (pakan) dan habitat sehingga menarik musuh alami dan meningkatkan potensi reproduksi mereka. Dengan demikian dapat mengendalikan hama secara alami. Di daerah tropis pola tanam polikultur terbukti efektif mengurangi infestasi hama pada agroekosistem. Pemilihan tanaman tumpangsari didasarkan kepada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan efektifitasnya dalam menekan perkembangan populasi hama. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka sistem pertanian polikultur memang memberikan banyak manfaat bagi petani dari berbagai aspek. Dampak positif dari hal tersebut ialah kesejahteraan petani menjadi lebih baik.
Referensi:
[1] Zhang & Li. 2003. Using Competitive and Facilitative Interactions in Intercropping Systems Enhances Crop Productivity and Nutrient Use Efficiency. Plant and Soil Journal. 248: 305–312 (Lihat)[2] Sullivan, P. 2003. Intercropping Principles and Production Practice. Agronomy Systems Guide. ATTRA (Lihat)
[3] Jones, V.L. 1992. Multiple Cropping as a Sustainable Agriculture Practice. Agricultural Research, Langston University, Langston (Lihat)