Mangrove untuk Masa Depan

Indonesia mempunyai hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,2 juta ha yang merupakan 22,6% dari total hutan mangrove dunia  Namun menurut bahwa pada 2 sampai 3 dekade ini hampir 50% dari total mangrove di Indonesia telah hilang, dari sekitar 6,7 juta ha tinggal menjadi sekitar 3,2 juta ha. Pulau Jawa dan Bali merupakan pulau dengan kerusakan paling besar yaitu sekitar 88%. Sebelumnya kedua pulau ini memiliki sekitar 171.500 ha, namun saat ini tinggal sekitar 19.577 ha[1].

Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman serius dan terus meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove[2].

Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri. Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.

Hutan mangrove memiliki peran yang kompleks, baik secara fisik, kimia, biologi maupun sosial ekonomi. Ekosistem hutan mangrove memiliki tingkat produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya dan menyediakan perlindungan dan makanan bagi biota perairan berupa bahan-bahan organik yang penting dalam siklus hidup (tempat pemijahan/spawning ground, asuhan/nursery ground dan mencari makan/feeding ground) berbagai jenis ikan, udang dan moluska[3]. Vegetasi hutan mangrove memiliki keunikan sebab mampu tumbuh meski terpapar gelombang dan salinitas air laut karena memiliki kemampuan adaptasi morfologi dan fisiologi yang unik . Selain itu hutan mangrove merupakan pemasok bahan organik melalui produksi seresah, sehingga dapat menyuburkan perairan sekitarnya dengan menyediakan makanan untuk organisme yang hidup di perairan tersebut.

Komunitas mangrove Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dari sekitar 89 jenis spesies mangrove yang tumbuh di dunia, sekitar 51 % spesies tersebut hidup di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove. Terdapat 32 jenis spesies mangrove sejati dan 20 asosiasi mangrove tumbuh subur di Indonesia Jenis-jenis mangrove tersebut antara lain: Avecenia alba, Rhizopora apiculata, Bruguiera parviflora, Brugruiera gymnorhiza, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, Excoecaria agallocha, Pandanus furentus, Bruguiera cylindrica, Soneratia alba, Xylocarpus moluccensis, Camptostemon schultzii, Myristica hollrungii, Heritiera littoralis, Manilkara fasciculata, Inocarpus fagiferus, Pandanus tectorius, Aegiceras corniculatum, Lumnitzera littorea dan Pemphis acidul.

Berbagai jenis mangrove terutama pada buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku olahan pangan yang sat ini mulai berkembang dengan pesat. Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan panganan lezat lainnya.Sebagai upaya pemenuhan tersebut maka upaya pengelolaan mangrove dan lingkungan perlu segera dilakukan sehingga ke depan olahan bahan pangan tersebut semakin berkembang dan berfungsi sebagai sumber bahan pangan.

Olahan makanan dengan bahan dasar buah mangrove saat ini sudah mulai dilirik oleh beberapa kalangan kelompok ibu ibu PKK Pesisir. Adapun jenis mangrove yang dapat digunakan sebagai olahan dasar makanan adalah Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan panganan lezat lainnya. Salah satu spesies mangrove yang sering dimanfaatkan untuk bahan makanan adalah buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza). Buah ini biasa disebut dengan buah Lindur (dalam bahasa Jawa). Ciri-cirinya adalah daunnya berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hitam, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 – 30 cm. Jenis tanaman api-api yang telah diketahui dimanfaatkansebagai sumber bahan makanan adalah Avicennia marina, Avicenniaofficinalis. Jenis tanaman ini tersebar di sebagian besar pantai di Indonesia. Termasuk jenis pionir (pada zonasi terdepan), cepat danmudah tumbuh, serta permudaan alaminya sangat cepat, bahkandiperkirakan tanaman berumur 2 tahun telah mulai menghasilkanbuah. Penggunaan buah tanaman yang telah masak perlu adaperlakuan, yaitu : pengupasan kulit atau pembuangan kulit,dicampur dengan abu dapur dan dibilas air bersih, lalu direndam 2 x 24 jam (untuk menghilangkan racun), ditiriskan dan dapat dipergunakan sebagai bahan baku makanan. Jenis Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba Tanaman ini banyak dijumpai di pantai utara Pulau Jawa, Cilacap sampai Jawa Timur, juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTB dan NTT, Irian Jaya. Termasuk jenis pionir (zona bagian depan). Daun tanaman ini sering dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak.Sifat buah tidak beracun dan langsung dapat dimakan. Buahyang telah masak berasa asam, namun binatang liar menyukai buahtanaman ini. Buah yang telah tua merupakan bahan baku makanandan tidak memerlukan perlakukan atau landung dapat dimasak menjadi aneka makanan atau minuman.Regenerasi alami tanaman ini cukup sulit atau tidak semudahregenerasi alami tanaman bakau (Rhizophora spp) Namun denganpermudaan buatan (pembibitan) telah dapat diterapkan, sehinggatidak menyulitkan dalam pengadaan bibit[4].

Gambar 1. Salah satu olahan Sirup dari Mangrove jenis Pedada (Sonneratia)

Gambar 2. Salah satu olahan Dodol dari Mangrove jenis Tancang (Bruguiera)

Selain itu mangrove kaya akan senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tannin. Senyawa saponin dari tumbuhan adalah glikosida dari triterpene dan steroid, yang larut dalam air dan mempunyai kemampuan membentuk buih sabun bila dikocok di air. Penggunaan saponin sebagai deterjen alam dan racun ikan telah dikenal oleh masyarakat tradisional. Sifat farmatikal yang berhubungan dengan obat Cina ‘ginseng’ merupakan atribut dari senyawa saponin. Saponin tumbuhan seperti halnya dioscin, bernilai komersial setelah ditemukan sebagai bahan untuk hormone steroid sintetis.

Manfaat lain dari saponin adalah sebagai spermisida (obat kontrasepsi laki-laki); antimikrobia, anti peradangan, dan aktivitas sitotoksik. Salah satu tumbuhan mangrove penghasil saponin steroid dan sapogenin adalah Avicennia officinalis yang banyak tumbuh di pesisir Indonesia. Perkembangan pengobatan penyakit AIDS juga mendapatkan sumber bahan baru, seperti inhibitor HIV-1 telah dikarakterisasi dari spesies Calophyllum inophyllum yang tumbuh di Malaysia. Kandungan kimia spesies ini juga berpotensi sebagai senyawa untuk anti kanker. Saponin triterpenoid dari Acanthus illicifolius menunjukkan aktivitas anti leukemia, paralysis, asma, rematik serta anti peradangan; dan alkaloid dari Antriplex vesicaria juga berkhasiat sebagai senyawa bakterisida.

Di Thailand dan pulau Jawa, daun dan akar dari Pluchea indica (nama daerah: beluntas) dilaporkan berkhasiat astringent dan antipiretik dan juga sebagai obat penurun panas. Daun segarnya digunakan sebagai obat borok dan bisul. Rokok yang terbuat dari kulit batangnya dimanfaatkan sebagai pengurang sakit sinusitis. Di Indo-China, daun dan tunas muda yang ditumbuk dan dicampur alkohol digunakan sebagai obat rematik dan sakit kudis. Eksplorasi kandungan kimia tumbuhan mangrove sangat diperlukan untuk menemukan agen-agen terapi baru dan informasi ini sangatlah penting bagi masyarakat. Ada dua alasan penting perlunya studi kandungan kimia tumbuhan mangrove. Pertama, mangrove merupakan salah satu hutan tropis yang mudah berkembang dan belum banyak termanfaatkan. Kedua, aspek kimia tumbuhan mangrove sangat penting karena potensinya untuk mengembangkan agrokimia dan senyawa bernilai medis[5].

Referensi:

[1] Eddy, S., Iskandar, I., Ridho, M. R., & Mulyana, A. 2017. Dampak aktivitas antropogenik terhadap degradasi hutan mangrove di Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 1 (3) (Lihat)

[2] Purnobasuki, H. 2011. Ancaman terhadap hutan mangrove di Indonesia dan langkah strategis pencegahannya. Bulletin PSL Universitas Surabaya, 25: 3-6 (Lihat)

[3] KARIM, Z. 2019. Pemetaan Perubahan Sebaran dan Kerapatan Mangrove Secara Temporal DI Pulau Ponelo (Lihat)

[4] Subekti, S. 2012. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu keanekaragaman bahan pangan. Prosiding SNST Fakultas Teknik 1(1) (Lihat)

[5] Purnobasuki, H. 2019. Potensi mangrove sebagai tanaman obat. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati 9(2) (Lihat)