Masalah yang telah lama bersahabat dengan Indonesia dari jaman baholak di sektor peternakan adalah masalah pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri. Dikutip dari Tabloidsinartani.com, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian, I Ketut Diarmita mengatakan bahwa berdasarkan kajian Tim Analisa dan Asistensi Supply-Demand Ditjen PKH Tahun 2019 kebutuhan nasional untuk daging sapi diperkirakan sekitar 686.271 Ton dengan asumsi konsumsi sekitar 2.56 Kg/Kapita/Tahun. Adapun produksi daging sapi dalam negeri menyediakan sebesar 404.590 Ton yang dihasilkan dari 2.25 juta ekor sapi yang dipotong. Berdasarkan data terseebut kebutuhan daging sapi harus dipenuhi dengan cara impor daging sebesar 281.681 Ton yang terdiri dari daging sapi, daging kerbau dan impor sapi bakalan. Data ini tidak lebih baik dari tahun sebelumnya dengan produksi 403.668 Ton dan perkiraan kebutuhan daging sapi sebesar 663.290 Ton yang mempunyai kekurangan sebesar 259.622 Ton.
Dalam mengatasi masalah tersebut pemerintah sedang mempersiapkan amunisi guna mendorong percepatan dan peningkatan produksi daging sapi dalam negeri dengan target yang tidak main-main, Swasembada Daging Sapi di Tahun 2026. Harapan itu muncul dari sapi Belgian Blue Double Muscle (BBDM) atau lebih dikenal dengan nama "Monster Cattle".
Gambar 1. Sapi Belgian Blue Double Muscle |
Menurut The Dairy Site, Seperti namanya, sapi ini Het ras van Midden en Hoog België atau jenis sapi kelas menengah ke atas yang berasal dari Belgia. Selama paruh kedua di abad ke-19, Sapi Shorthorn diekspor dari Inggris ke Belgia untuk meningkatkan populasi sapi perah disana. Antara tahun 1920 dan 1950 dimulailah seleksi dengan dual tujuan (dual purpose type of animal). Nah, terobosan nyata terjadi di tahun 1960-an dimana terjadi perkembangan karakter double muscling pada sapi yang berasal dari keterampilan menyeleksi sehingga lahirlah si biru yang saat ini dikenal dengan Belgian Blue.
Secara karakteristik, sapi ini memiliki ukuran yang besar, bulat dengan otot yang menonjol. Bagian bahu, punggung, pinggang dan pantatnya mempunyai otot yang besar. Punggungnya lurus, pantatnya miring, dan keempat kakinya berukuran besar sehingga jalanya lambat. Sapi jenis ini memiliki variasi warna dari mulai putih, biru pudar, hitam, atau kombinasinya dan di beberapa genotip ada yang berwarna merah. Bobot dewasanya berkisar antara 1100 sampai 1250 Kg dengan tinggi 1.45 sampai 1.50 m. Ototnya tidak dibentuk saat lahir melainkan baru mulai berkembang di usia 4 sampai 6 minggu.
Sapi ini dilirik oleh Pemerintah Indonesia karena mampu menghasilkan karkas dengan presentase sampai 80%. Presentase ini merupakan produksi tertinggi yang bisa dihasilkan oleh sekor sapi jika dibandingkan dengan sapi jenis lain. Selain itu ada beberapa hal yang menyebabkan sapi ini dikatakan luar biasa, seperti tempramen yang baik, mobilitas dan struktur tubuh yang bagus serta keefektivitasanya dalam mengkonversi pakan menjadi daging.
Sifat double muscle pada sapi ini terjadi karena adanya mutasi gen myostatin (MSTN) yang berfungsi mengontrol tumbuh kembang otot. Dengan adanya mutasi ini maka pertumbuhan dan perkembangan otot menjadi tidak terkontrol yang berakibat pada terbentuknya per-ototan ganda. Jika dilakukan cross breeding antara sapi BBDM dengan sapi biasa maka gen myostatin hasil mutasi tersebut akan diwariskan ke keturunanya.
Namun, ada beberapa permasalahan yang diprediksi akan menjadi kendala dalam pemanfaatan sapi BBDM di Indonesia. Menurut para ahli, beberapa kelemahan dalam pengembangan sapi ini salah satunya yaitu kesulitan dalam melahirkan secara normal sehingga memerlukan tindakan sesar. Hal ini tentunya memerlukan perhatian khusus dari pemilik atau peternak yang memeliharanya. Menurut Dewan Pakar PB Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia dan Dewan Penasihar PP Perhimpunan Ilmuan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia, Rochadi Tawaf, kesulitan dalam melahirkan pada sapi BBDM ini secara fisiologis terutama disebabkan karena terjadi pertumbuhan double muscle pada seluruh bagian tubuhnya termasuk organ bagian dalam seperti jantung dan saluran-saluran seperti pencernaan dan saluran reproduksi. Sebagai contoh penebalan dinding uterus mengakibatkan sapi kesulitan untuk melahirkan ditambah dengan ukuran pedet yang besar sehingga kecil kemungkinan lahir secara normal.
Saat ini pusat pengembangan BBDM di Indonesia ada di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Jawa Barat. Pengembangan ini diarahkan agar sapi BBDM dapat disilangkan dengan sapi-sapi yang ada di Indonesia dengan menggunakan semen beku yang di impor dari Belgia. Beberapa hasil dari perkawinan silang ini diantaranya yaitu Gatotkaca, Srikandi, dan Dhenur. Mereka adalah pedet BBDM yang lahir dari hasil Transfer Embrio dengan resipien sapi Frisien Holstein (FH) dan Limousin. Namun, menurut data dari BET, kelahiran dari pedet tersebut semuanya dilakukan secara sesar. Jadi bisa dibayangkan untuk resipien sapi sekelas FH dan Limousin yang notabenenya berbadan besar saja kelahiran secara normal susah dilakukan bagaimana jika disilangkan dengan sapi lokal yang mempunyai postur tubuh yang kecil.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kelahiran sesar akan berdampak pada penurunan kemampuan betina dalam memproduksi pedet yang seharusnya bisa mencapai 10x menjadi hanya 3-4x saja. Selain itu, dengan menyempitnya saluran reproduksi menyebabkan sapi BBDM betina memiliki cacat reproduksi (susah melahirkan normal) yang jika terjadi perluasan penyebaran gen myostatin secara masif bisa memiliki dampak negatif bagi kelangsungan produksi pedet.
Pendapat lain mengatakan bahwa permasalahan lain yang akan muncul yaitu mengenai kecukupan nutrisi yang dapat mempegaruhi sapi BBDM dalam menghasilkan Average Daily Gain (ADG) yang optimum. Pendapat ini didasarkan pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa 98% penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri di cover oleh Rumah Tangga Peternak (RTP) yang pada tahun 2013 berjumlah 4.204.213 RTP. Salah satu karakteristik RTP umumnya dicirikan dengan skala usaha yang kecil, modal yang terbatas dan konsep usahanya yang bersifat sampingan dengan tujuan sebagai tabungan masa depan. Selain itu RTP biasanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitar peternakanya sebagai sumber pakan dengan kandungan nutrisi yang kurang diketahui. Disisi lain BBDM memerlukan pakan yang berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya agar dapat berproduksi optimal.
Namun, berdasarkan hasil penelitian berjudul "Maintenance Energy Requirements of Double-Muscled Belgian Blue Beef Cows" dari Leo O. Fiems yang melakukan dua penelitian menggunakan 20 dan 40 sapi BBDM didapatkan bahwa Metabolizable Energy (MEm) dan Net Energy (NEm) sapi BBDM masih berada dalam kisaran kebutuhan sapi jenis lain seperti Charolais Crossbreds, Simmental Crossbreds, Angus, Hereford, Simmental, dan Charolais dengan rata-rata MEm dan NEm berturut-turut sebesar 0.5 dan 0.3 MJ/kg BW^0.75. Metabolizable Energy adalah energi yang digunakan untuk melakukan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan Net Energy adalah energi yang digunakan untuk produksi dan pemeliharaan. Net Energy adalah Metabolizable Energy dikurangi cengkraman panas yang dihasilkan selama pencernaan pakan, metabolisme nutrisi dan ekskresi limbah.
Dari beberapa penjelasan diatas, tentunya perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai pengembangan dan penyebaran sapi BBDM agar cocok untuk kondisi di Indonesia. Selain itu pendampingan pemeliharaan yang intensif kepada peternak juga merupakan program yang harus di pertimbangkan mengingat sapi BBDM merupakan sapi jenis baru dengan pola pemeliharaan yang belum sepenuhnya diketahui oleh peternak secara umum. (HS)
Referensi :
[4] The Dairy Site